Adab Murid dan Guru Alqur’an

28 Sep

Para Pembaca, Saudaraku yang dirahmati Allah SWT….

Sebelumnya, anda harus dapat membedakan belajar Tahsin / Tahfizh Al-Qur’an dengan mempelajari ilmu-ilmu lain seperti matematika, komputer, bahasa Inggris dan sebagainya. Mempelajari Al-Qur’an adalah mempelajari kalam-kalam Allah, dan kalam Allah lebih mulia dari apapun di muka bumi ini. Sehingga sikap anda ketika belajar Al-Qur’an harus anda bedakan ketika belajar ilmu-ilmu yang lain, karena sesungguhnya anda tidak akan mendapatkan berkah dari ilmu Al-Qur’an yang anda pelajari jika adab-adabnya tidak anda perhatikan.

Marilah kita pelajari adab-adab dalam bertalaqqi/belajar Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam At Tibyan fi Hamalatil Qur’an. Dia antara adab-adab tersebut adalah:

1. Dalam kegiatan belajar mengajar Al-Qur’an, baik guru maupun murid harus memiliki keikhlasan yang penuh, hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Allah berfirman:

“Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allah, ikhlash karenanya dalam menjalankan agama…” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Rasulullah bersabda:

“Semata-mata perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas berkata:

“Semata-mata seorang itu akan terjaga sesuai dengan ukuran niatnya.”

Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

“Meninggalkan suatu perbuatan karena manusia adalah perbuatan riya’. Melakukan sesuatu karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlash adalah tatkala Allah menjaga anda dari dua penyakit di atas.”

2. Guru dan murid tidak boleh menjadikan talaqqi Al-Qur’an sebagai sarana untuk mengharapkan atau mendambakan dunia, sehingga jika kegiatan tersebut tidak menjanjikan materi,  ia enggan melakukannya. Allah berfirman:

“Dan baarang siapa yang menginginkan ladang dunia kami akan memberinya. Dan tidak ada baginya bagian di akhirat…” (QS. Al-Isra’: 18)

3. Seorang guru harus amanah dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada muridnya, jangan sampai ia membiarkan muridnya melakukan kesalahan. Karena dikhawatirkan suatu saat ia akan mengajarkan muridnya dalam keadaan salah.

4. Seorang guru tidak boleh mendambakan semua orang belajar kepadanya dan tidak belajar kepada guru yang lain. Hindarilah rasa benci dan kesal jika mendapatkan murid yang belajar kepada guru yang lain. Penyakit ini banyak menimpa para guru yang jahil. Ini suatu bukti bahwa niat mengajarnya salah dan tidak karena Allah subhanahu wa ta’ala. Seharusnya ia mengatakan,  “Aku mengajar dengan tujuan ibadah, dan ini telah aku dapatkan. Jika ada muridku pindah belajar kepada guru yang lain, maka ia akan mendapatkan tambahan ilmu. Semoga ilmunya menjadi ilmu yang bermanfaat.”

Inilah teladan dari Imam Syafi’i yang pernah berkata,

“Aku ingin orang yang telah mempelajari ilmu (yang telah aku ajarkan) ini tidak menganggap ilmu tersebut didapat dariku, walaupun hanya satu huruf.”

5. Guru dan murid harus berakhlaq mulia, sabar tawadhu’, tidak banyak bercanda dan berisik, tidak hasud dan ‘ujub (berbangga diri), serta banyak mengamalkan amalan sunnah, berdzikir, bertasbih, berdo’a, dan muraqabatullah (selalu merasa diawasi oleh Allah).

6. Seorang guru harus bersikap lemah lembut kepada muridnya, menyambutnya dan berbuat baik kepadanya. Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya:

“Sesungguhnya masyarakat itu adalah pengikut kalian  dan sesungguhnya terdapat orang-orang yang akan mendatangi kalian dari pelosok negeri untuk mendalami ilmu agama. Apabila mereka datang kepada kalian perlakukanlah dengan baik.”  (H.R. Tirmidzi)

7. Seorang guru harus banyak memberi nasehat dan motivasi kepada muridnya. Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya:

“Agama itu nasehat.” “Bagi siapa ya Rasul?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, Kitabnya, Rasulnya, para imam muslim dan kaum muslimin pada umumnya.”   (H.R. Muslim)

Yang dimaksud dengan nasehat bagi Allah adalah meyakini ke-Maha Tunggal-an Allah dan ikhlas dalam beribadah kepadanya. Nasehat bagi kitabnya adalah dengan mengamalkan isinya. Nasehat bagi Rasul-Nya yakni mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Nasehat bagi imam muslim dan kaum muslimin pada umumnya yaitu dengan mengarahkan mereka kepada jalan yang benar.

8. Seorang guru tidak boleh merasa besar di hadapan muridnya, melainkan harus lemah lembut, hormat dan tidak merendahkan mereka. Rasulullah bersabda:

“Bersikap lemah lembut kepada orang yang kamu ajari dan orang yang sedang belajar darinya.” (HR. Ibnu Suni)

9. Seorang murid harus hormat kepada guru, betapapun ia melihat kekurangan gurunya. Ali bin Abi Thalib berkata:

“Aku bagaikan hamba sahaya bagi orang telah mengajariku walaupun satu huruf.”

Jangan pernah menceritakan ketidakpuasan terhadap gurunga kepada orang lain. Hal tersebut adalah ghibah, apalagi dilakukan terhadap gurunya. Sungguh, perbuatan ini menjadikan ilmu tidak bermanfaat. Rasulullah bersabda:

“Ya Allah, aku berlindung diri kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

10. Seorang murid harus sabr menghadapi sikap keras gurunya, karena boleh jadi ketika marah tersebut gurunya sedang lelah atau memikirkan suatu masalah. Berpikirlah positif, bahwa seorang guru tidak mungkin benci kepada muridnya. Jadi, murid harus siap seakan-akan hina di depan gurunya. Ibnu Abbas berkata:

“Dulu aku hina ketika mencari (menjadi murid), kini aku mulia setelah dicari (menjadi guru).”

Seorang penyair berkata:

“Seseorang yang tidak pernah merasakan kehinaan sesaat (menuntut ilmu) akan hina sepanjang masa.”

 

Saudaraku…

Mudah-mudahan kita diberikan-Nya hidayah ilmu dan amal. Mari beriman sesaat, sempatkan waktu untuk belajar Alqur’an.

Maroji:

Muzzammil, Ahmad, ‘Ulumul Qur’an Program Tahsin-Tahfizh, Ma’had Alqur’an Nurul Hikmah, Tangsel, 2008

Ra’uf, ‘Abdul Aziz Abdul, Kiat Sukses Menjadi Hafizh Qur’an Da’iyah, PT Syamil Cipta Media, Bandung, 2004

Leave a comment