Membedaan Alqur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi

27 Sep

Saudaraku…

Definisi Alqur’an telah dipaparkan pada kesempatan yang lalu. Dan untuk mengetahui perbedaan antara Alqur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi, maka saya paparkan juga definisi Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi.

Hadits Nabawi

Secara istilah yang dimaksud dengan ‘hadits’ adalah apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan nabi, perbuatan nabi maupun persetujuan dan sifat nabi.

Ciri hadits yang berupa perkataan nabi, adalah hadist-hadits yang periwayatannya dituliskan dengan redaksional seperti, ‘Nabi SAW bersabda …………….dst’. Sedang hadits yang berupa perbuatan nabi biasanya dituliskan dalam periwayatannya dengan kalimat, “adalah Rasulullah SAW  begini….  begitu (maksudnya menceritakan keadaan/perbuatan rasulullah SAW)”. Adapun hadits yang berupa takrir (persetujuan) dari nabi adalah riwayat yang menerangkan bahwa dalam suatu peperangan, nabi membiarkan/mendiamkan sahabatnya memakan daging biawak sekalipun nabi sendiri tidak berkenan memakannya. Dan hadits yang berupa sifat nabi adalah seperti riwayat yang menceritakan sifat-sifatnya seperti Nabi SAW selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras/kasar, berkata lembut, tidak berkata kotor dan tidak suka mencela.

Hadits Qudsi

Hadits qudsi adalah hadits yang oleh Nabi SAW disandarkan kepada Allah SWT. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah SWT. Maka Nabi menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafad dari Nabi sendiri. Hadits qudsi dapat dikenali dengan redaksional:  “Rasulullah SAW bersabda mengenai apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya”; atau dengan redaksi: “Rasulullah SAW berdabda, “Allah ta’ala berfirman” , atau yang sejenis dengan itu.

Perbedaan Alqur’an dan Hadits Qudsi

Ada beberapa perbedaan antara Alqur’an dan Hadits Qudsi, diantaranya adalah:

1. Alqur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafadnya, dan dengan itu pula orang arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Alqur’an itu meskipun hanya sepuluh surat atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku karena Alqur’an adalah mu’jizat yang abadi hingga hari kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mu’jizat.

2. Seluruh isi Alqur’an dinukil secara mutawatir (diriwayatkan oleh orang banyak), sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedangkan hadits qudsi kebanyakan adalah khabar ahad (diriwayatkan oleh satu orang saja) sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan, sehingga ada kalanya hadits qudsi itu shohih, terkadang hasan (baik) dan terkadang dho’if (lemah).

3. Alqur’an dari Allah baik lafad maupun maknanya. Maka ia adalah wahyu baik dalam lafad maupun maknanya. Sedangkan hadits qudsi, maknanya dari Allah dan lafad/redaksionalnya dari Rasulullah, sehingga hadits qudsi itu adalah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafadnya. Oleh karena itu, menurut sebagian besar ahli hadits, diperbolehkan meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.

4. Membaca Alqur’an merupakan ibadah, karena itu ia dibaca di dalam shalat. Hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja, maka membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadits mengenai pahala membaca Alqur’an, bahwa pada setiap huruf dari bacaan Alqur’an memperoleh sepuluh kebaikan.

Perbedaan Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi

Perbedaan hadits qudsi dengan hadits nabawi adalah bahwa hadits qudsi itu bersifat tauqifi sedangkan hadits nabawi itu bersifat taufiqi.

Tauqifi maksudnya adalah secara makna/kandungan isinya berasal dari wahyu Allah namun redaksionalnya disusun oleh Rasulullah dengan kata-katanya sendiri.

Taufiqi maksudnya adalah baik secara makna/kandungan isinya maupun redaksionalnya, kedua-duanya berasal dari Rasulullah. Maknanya disimpulkan oleh Rasulullah berdasarkan pemahamannya terhadap Alqur’an karena nabi  bertugas menjelaskan Alqur’an dan menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu bila ia benar dan bila ternyata ijtihadnya salah maka turunlah wahyu yang membetulkannya.

Maroji:

Al-Khattan, Manna’ Kalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Pustaka Litera AntarNusa, Bogor, 2004.

Leave a comment